Kepedulian Ulama Terhadap Kemungkaran

Kepedulian Ulama Terhadap Kemunkaran

Alkisah, ada seorang kiai yang khilaf. Dalam suatu pengajian yang digelarnya, dia silap kata. Keseleo lidah. “Ka’bah itu baitullah, rumah Allah. Kalau malam, Allah ya di situ,” katanya. Wah, dia kebablasan. Lidah, kata orang, memang tidak bertulang.

Kata-kata ini menyebar dari mulut ke mulut. Pada akhirnya sampai pula ke telinga Kiai Hakim, seorang hakim agama di Pasuruan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Dia juga seorang ulama yang konsekuen memegang syariat. Dia dikenal berani, dan tak pandang bulu.

Mendengar ada orang berkata demikian, dia segera memanggil orang bersangkutan. Tahu bahwa orang itu tidak mungkin berani mengaku di hadapannya, Kiai Hakim mengutus seorang tangan kanannya untuk melakukan interogasi. Tangan kanan itu bernama Mas Imam (kelak menjadi KH. Mas Imam). “Mam, coba tanya dia, apa betul dia berkata seperti itu,” ujarnya.

Mas Imam menjalankan tugasnya di sebuah ruangan di kantor pengadilan, yang terletak di sebelah Masjid Jami’ Kota Pasuruan. Dengan halus dia menanyai sang kiai. Si kiai mengakui telah berkata demikian. Namun dia menegaskan bahwa hal itu di luar kesengajaannya. Dia pun telah menyesali ucapan tersebut. Dia bertobat dan beristighfar.

Sekeluar dari ruang “interogasi”, Mas Imam ditanya Kiai Hakim. “Bagaimana, Mam, betul tidak dia berkata begitu?” tanyanya.

“Ya betul, tapi itu tidak sengaja. Dia hanya silap kata,” ujar Mas Imam.
Kiai Hakim langsung memarahi orang tersebut. Karena kesalahan fatal apabila timbulnya dari ulama bisa menjadikan pengikutnya juga berbuat kesalahan yang sama.

Di zaman yang bersamaan di Lumajang terdapat kiai yang juga dikenal keras. Dialah KH. Abdurrahman. Di masa hidupnya tak ada perempuan yang berani melepas kerudung, khususnya di kota Lumajang. Sebab, bila ketahuan Kiai Abdurrahman, dia akan dipukul.
Begitulah para ulama (entah dia kiai atau habaib) di zaman dulu. Memang tidak semuanya menggunakan cara yang keras dan lugas. Tetapi mereka umumnya memiliki kepedulian yang besar terhadap urusan amar ma’ruf nahi munkar.

KH. Abdul Hamid Pasuruan, misalnya, merupakan salah satu ulama yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kemungkaran yang ada di sekitarnya namun beliau memilih menggunakan pendekatan yang lebih halus dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Contoh, suatu kali ada tamu dari luar kota yang memakai cincin dari emas. “Bagus benar cincin sampeyan (anda),” kata Kiai Hamid sambil memperhatikan benda tersebut. “Boleh saya melihatnya?”

“O, monggo, monggo (silakan),” ujar si tamu sembari tergopoh-gopoh melepas cincinnya.
Kiai Hamid menerima cincin tersebut lalu mengamatinya dengan saksama. “Bagus sekali. Boleh saya ambil?” tanyanya.

Hati si tamu berbunga-bunga. Kala itu, siapa sih yang tidak senang bila barangnya diminta Kiai Hamid? “Monggo, Yai (Kiai),” katanya.
“Ini sudah jadi milik saya, ya?!” kata Kiai Hamid lagi, seperti minta penegasan.
“Inggih (ya).”
“Sekarang saya titip pada sampeyan. Cincin ini sampeyan berikan pada istri sampeyan. Jangan dipakai ya, sampeyan masukkan ke saku saja, nanti di rumah berikan pada istri sampeyan.”
Semula si tamu tak mengerti mengapa Kiai Hamid berbuat demikian. Namun, setelah dijelaskan oleh kawannya, dia pun mengerti bahwa memakai cincin emas adalah haram bagi lelaki.

Amar ma’ruf nahi munkar adalah idiom yang sudah jamak disebut menjadi satu. Sebenarnya ungkapan ini terdiri atas dua substansi aktivitas yang berbeda. Amar ma’ruf ialah memerintahkan pada kebajikan, sedang nahi munkar ialah melarang kemungkaran. Dari kedua aktivitas atau misi ini, yang lebih berat ialah nahi munkar. Sebab, umumnya orang lebih mudah melakukan kewajiban atau kebajikan daripada menjauhi larangan.

Menurut Imam Al-Ghazali, istilah munkar lebih umum daripada maksiat. Sebab, anak kecil atau orang gila berbuat zina. Ini bukan maksiat karena anak kecil dan orang gila bukan tergolong orang mukallaf, sehingga apapun yang mereka lakukan tidak berimplikasi dosa. Namun yang mereka lakukan adalah kemungkaran, dan orang yang melihat wajib melarangnya.

Dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin Imam Al-Ghazali menjelaskan, banyak sekali ragam kemungkaran itu. Ada kemungkaran khas di jalanan (seperti orang membuat perintang di tengan jalan yang membahayakan para pelintas), di pasar (seperti mengurangi timbangan), di masjid (seperti salat tanpa thuma’ninah, yakni diam dan tenang sebentar, pada saat ruku’, sujud dan seterusnya), pada jabatan publik (seperti korupsi, suap menyuap) dan lain-lain. Ini belum lagi kemungkaran-kemungkaran yang merupakan dosa-dosa besar seperti zina, judi, minum minuman keras dan semacamnya.

Ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali bahwa siapapun memiliki kewajiban (secara kifayah alias fardhu kifayah) untuk mencegah kemungkaran yang dia lihat ada di sekitarnya. Kalau bisa dengan tangan. Kalau tidak mampu dengan lisan. Misalnya, di masjid dia lihat orang salat tanpa thuma’ninah, maka dia wajib membetulkannya. Seperti dalam suatu hadis diterangkan, Nabi s.a.w. pernah melihat seseorang salat dengan ruku’ dan sujud persis seperti burung mematuk. Beliau menyuruh orang itu untuk mengulangi shalatnya.

Tidak semuanya harus menghilangkan kemunkaran dengan cara yang tegas, akan tetapi setidaknya kita peduli bahwa kemunkaran adalah sesuatu yang harus diperhatikan dan diupayakan supaya lenyap dari sekitar kita.

Semoga Allah menganugerahkan kepada kita untuk berani berbuat dan bicara yang benar. Amiinn..

Habib Muhammad bin Husein bin Anis Al-Habsyi

Posting Komentar untuk "Kepedulian Ulama Terhadap Kemungkaran"