Aku Tidak Akan Kembali Dari Surga

Aku Tidak Akan Kembali, Dari Surga

Belum pernah Hisyam bin Yahya menemukan seseorang seperti Said bin Harits. Said adalah satu dari sekian banyak orang yang ikut berjihad ke negeri Rum, pada tahun 88 H. Pemuda itu kuat beribadah: puasa tiap hari, dan malamnya bangun shalat malam. Jika sedang berjalan-jalan, ia membaca Al-Quran, dan bila sedang berdiam diri di kemah, ia membaca dzikir.


Tepat tengah malam, ketika rombongan itu sangat khawatir dari serangan musuh, Hisyam dan Said sama-sama berjaga. Malam itu memang giliran mereka. Pada waktu itu, benteng musuh telah terkurung. Ketika semalaman dilihatnya Said bin Harits beribadah, maka Hisyam pun menasihatinya, “Engkau harus mengistirahatkan badanmu. Sebab itu hak badanmu.”

Mendengar kata-kata itu, Said malah menangis. Ia menjawab, “Ini hanya beberapa nafas yang dapat dihitung dan umur yang akan habis serta hari akan segera berlalu. Sedang aku hanya menantikan maut dan berlomba menghadapi keluarnya ruh.”

Sungguh, Hisyam bin Yahya merasa sangat pilu. Ia tahu benar pemuda di hadapannya ini tak pernah berhenti melakukan hal-hal kebaikan. Bagi diri dan umatnya. Maka dengan hati yang pilu, ia berkata lagi, “Aku bersumpah dengan nama Allah. Masuklah engkau ke dalam kemah untuk istirahat.”



Maka Said pun masuk dan tidur. Sedang Hisyam duduk di luar kemah. Tiba-tiba Hisyam mendengar suara dalam kemah. Padahal selain Said, tiada orang lagi. Ketika Hisyam melihat ke dalam kemah, Said berkata, “Aku tidak suka kembali.”


Ia mengulurkan tangan kanannya. Dan ia melompat bangun dari tidurnya. Hisyam tidak bisa menyembunyikan keheranannya. Ia segera mendekap pemuda itu sambil mendekapnya. “Ada apakah? Kenapa kau berkata begitu?” tanya Hisyam.

“Aku tidak akan memberitahukannya padamu,” jawab Said.

Hisyam bersumpah dengan nama Allah supaya Said memberitahukan hal itu padaanya. Said malah balik bertanya, “Apakah engkau berjanji tidak akan membuka rahasia itu selama hidupku?”

“Baiklah.”

Said menarik nafas. Sejurus kemudian, ia berkata, “Aku bermimpi, seolah telah tiba hari kiamat. Semua orang telah keluar menunggu panggilan Allah. Dalam keadaan itu tiba-tiba ada dua orang menghampiriku. Tiada orang yang sebagus kedua orang itu. Mereka menyalamiku dan mereka berkata kepadaku:

“Terimalah kabar baik. Allah telah mengampuni dosamu dan memuji usahamu. Allah menerima amal baik dan doamu. Karena itu, marilah pergi untuk kami perlihatkan kepadamu nikmat yang tersedia untukmu.”

Lalu, keduanya membawaku keluar dari tempat itu. Mereka menyediakan kuda yang tidak serupa dengan kuda-kuda yang ada di dunia, sebab larinya bagaikan kilat atau angin yang kencang. Dan akupun mengendarainya, sehingga sampai di gedung yang tinggi dan besar. Gedung itu tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, seakan-akan terbuat dari perak yang berkilatan. Ketika aku sampai di muka pintu, tiba-tiba pintu terbuka sebelum diketuk, lalu aku masuk dan melihat segala sesuatu yang tidak dapat disifatkan dan tergerak dalam hati. Dan bidadari-bidadari serta pelayan-pelayan sebanyak bintang di langit. Dan ketika mereka melihat aku, mereka bernyanyi-nyanyi dengan berbagai nyanyian. Seorang dari mereka berkata, “Itu kekasih Allah telah tiba, ucapkanlah selamat datang kepadanya.”

Sampai di situ, Said menghentikan ceritanya sejenak. Hisyam mendengarkan dengan saksama. Said pun melanjutkan, “Lalu aku berjalan hingga sampailah di ruangan tidur terbuat dari emas bertaburan permata, diliputi dengan kursi emas. Tiap-tiap kursi ada gadis yang tidak dapat disifatkan oleh manusia kecantikannya, dan di tengah-tengah mereka ada yang tinggi dan tercantik. Kedua orang yang membawaku berkata, ‘Itu keluargamu dan ini tempatmu.’ Kemudian mereka meninggalkannku. Lalu gadis-gadis itu datang kepadaku memberi sambutan dan mereka mendudukkan aku di tengah, di samping gadis yang cantik sambil berkata, ‘Itu istrimu.’

Aku bertanya kepadanya, "Dimanakah aku ketika itu?"

Dan ia menjawab, "Engkau di Jannatul Ma’wa".

Lalu aku bertanya "siapa dia?"

Ternyata ia adalah istriku yang kekal. Lalu aku ulurkan tanganku kepadanya, tetapi ditolak dengan halus sambil berkata, ‘Kini kamu harus kembali ke dunia dan tinggal tiga hari’. Nah, aku tidak suka itu. Hingga aku berkata, ‘Aku tidak suka kembali,” Said mengakhiri ceritanya.

Mendengar cerita itu, Hisyam tidak dapat menahan air mata. “Beruntung kau Said. Allah telah memperlihatkan pahala amal baikmu.”

Said malah bertanya, “Apakah ada orang lain yang melihat kejadian ini?”
“Tidak.”
Lalu ia berkata, “Tutuplah hal ini selama hidupku.”

Said berwudhu dan berminyak harum. Ia lalu mengambil senjatanya dan menuju ke medan perang sambil berpuasa. Hisyam tak hentinya mengagumi pemuda itu. Orang-orang banyak menceritakan kehebatan perjuangannya, belum pernah mereka melihat perjuangan sedemikian. Ia meletakkan dirinya dalam serangan musuh, dan mengatasinya.

Pada hari kedua, ia bertempur lebih hebat. Pada waktu malam, Said tetap melaksanakan salat dan bangun pagi untuk kembali maju ke medan perang. Pemuda itu tak hentinya menerapkan apa yang ia kerjakan malam dan siang hari. Sepanjang hari itu ia bertempur terus-menerus. Hingga tepat matahari terbenam, tibalah sebuah panah mengenai lehernya. Jatuhlah ia sebagai syahid. Hisyam tetap memperhatikannya, sedang orang-orang mengangkatnya.



“Bahagialah engkau, berbuka malam ini. Sekiranya aku bersamamu,” ujar Hisyam. Said mengginggit bibirnya sambil tersenyum, “Alhamdulillaahilladzi sadaqana wa’dahu,” kemudian dia mengingal dunia.

Saat itu, Hisyam berkata kepada orang-orang. “Hai sekalian orang, seperti inilah kita harus berlomba-lomba.”

Orang-orang pun semakin tahu bahwa Said telah mengorbankan waktu dan hidupnya untuk dakwah. Untuk sebuah perjuangan. Tidak ada istilah rugi untuknya. Ia berjuang untuk Allah. Walaupun harus berdarah-darah. Setiap malam, ia khusyuk bermunajat kepada Allah terus mendekatkan diri, meningkatkan kemampuan dan kekuatan dirinya. Siang, ia bertempur menghadapi musuh. Sepanjang malam, orang hanya menceritakan keadaan itu saja. (Saad Saefullah)

Dikutip dari saksi-online


Baca Juga: Antara Menangis dan Tertawa

Posting Komentar untuk "Aku Tidak Akan Kembali Dari Surga"