Iman Merupakan Syarat Utama Terkabulnya Amal
Apakah Kebaikan dunia itu merupakan kebaikan yang mutlak? Ataukah baru bisa dikatakan kebaikan bilamana ia terkait dengan keimanan? Artinya bila kita melakukan suatu kebaikan tanpa didasari keimanan kepada Allah SWT, kepada para Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab-Nya, apakah hal itu ada perhitungannya bagi kita di sisi Allah SWT?
Ada sejumlah manusia yang bekerja untuk kepentingan umat manusia, yaitu mereka yang mengadakan penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi yang berguna bagi seluruh umat manusia, atau mereka menemukan cara terapi untuk penyakit-penyakit kronis yang menyengsarakan umat manusia, atau mereka yang menyumbang misalnya untuk pembangunan panti atau rumah sakit gratis, atau mereka yang memberikan pertolongan kepada sekelompok manusia yang sedang berada dalam situasi sangat buruk.
Terjadi kelaparan misalnya lalu mereka tanggap dengan menggalang pengumpulan dana dan mengirimkan bahan makanan kepada mereka yang sedang tertimpa kelaparan, atau amal bakti-amal bakti lainnya yang Allah perintahkan kepada para hamba-Nya yang mukmin dan yang Allah telah janjikan pahala besar bagi mereka di akhirat.
Mereka yang memberikan kebaikan bukan bertolak dari logika keimanan kepada Allah, tetapi dari logika kemanusiaan dan solidaritas kepada sesama dalam upaya meringankan penderitaan maupun memberikan pertolongan kepada mereka itu, bagaimana posisi hukumnya bagi mereka?
Kami katakan: Mereka itu semua tidak memperoleh pahala di sisi Allah SWT, karena mereka melakukan suatu amal yang tidak mereka maksudkan untuk mencari ridla Allah, artinya amal baik mereka tidak berangkat dari titik tolak keimanan yang murni karena Allah. Dalam konteks ini Allah SWT berfirman:
ومن يعمل من الصالحات وهو مؤمن فلا يخاف ظلما ولاهضما
"Barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya)". Qs Taha : 112
Jadi, syarat utama diterimanya amal kebaikan adalah keimanan kepada Allah SWT. Yakni haruslah ada keimanan terlebih dahulu, dan selanjutnya hendaklah amal kebaikan itu tertuju kepada Allah SWT semata. Oleh karena itu, orang yang menyumbangkan sejumlah besar uang untuk sebuah yayasan sosial karena suami dari ketua yayasan tersebut memegang jabatan penting pada pemerintahan yang ia harapkan pelayanan dari padanya dalam bisnisnya, tidaklah diterima amalnya itu di sisi Allah. Karena ia mengulurkan bantuannya dengan tujuan agar dirinya dikenal sebagai dermawan besar atau sebagai seorang yang tingkat sosialnya tinggi atau tujuan-tujuan lainnya. Jelasnya, ia beramal baik untuk mencari reputasi semata, bukan untuk mencari ridha Allah, maka tidak ada pahala baginya di sisi Allah SWT.
Orang-orang yang menyertakan tujuan-tujuan lain yang bersifat duniawi bersama dengan Allah, tidaklah mempersembahkan kebaikan, meskipun terlihat secara lahiriyah suatu amal kebaikan, karena mereka hanya menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan lain, padahal Allah SWT paling tidak membutuhkan penyertaan amal seperti itu. Tetapi, apakah Allah tinggalkan amal kebaikan duniawi itu begitu saja tanpa ada imbalan?
Allah SWT dengan keadilan-Nya menetapkan imbalan atas amal baik model itu. Yakni imbalan yang setimpal dengan jenis amal baik yang dipersembahkan. Artinya memberinya imbalan di dunia saja, bukan di akhirat. Jika ia sampai di akhirat kelak tidaklah ia dapatkan pahala atas amal baiknya. Al-Quran memberitakan kepada kita tentang fakta ini:
من كان يريد العاجلة عجلنا له فيها ما نساءلمن نريد ثم جعلنا له جهنم يصلاها مذموما مدخورا
Orang-orang yang berbuat kebaikan tanpa didasari keimanan kepada Allah, atau tidak berniat karena Allah, hanyalah akan mendapatkan imbalan amal kebaikan mereka di dunia saja. Yaitu dengan diumumkannya nama-nama mereka di kota-kota, didirikan patung-patung mereka di tempat-tempat terbuka, diberikannya hadiah-hadiah penghargaan kepada mereka, dipelajarinya sejarah kehidupan mereka di berbagai jenjang pendidikan sehingga mereka menjadi tokoh yang populer. Itulah imbalan amal baik mereka, yakni imbalan yang setimpal dan sepadan dengan amal bakti yang telah mereka persembahkan.
Allah SWT menghendaki agar kita mengimbangi segala peristiwa duniawi dengan keimanan, agar kita tidak mengeluh atas peristiwa apapun yang menimpa bagaimanapun situasinya. Oleh sebab itu Dia menetapkan standar yang kita jadikan sebagai tolok ukur untuk menilai semua peristiwa, Dia dengan rahmat-Nya tidak membiarkan kita dalam hidup ini hanyut bersama angin yang menerpa hati kita dengan perasaan takut dan keluh kesah, tetapi Dia memberi kita standar yang sesungguhnya sebagai tolok ukur kita bekerja dan sebagai acuan pemikiran kita.
Pertama kali yang diminta oleh Allah ialah kita melucuti diri kita dari pengaruh emosional dalam menilai peristiwa-peristiwa di dunia ini. Kita harus menyikapi peristiwa-peristiwa itu sebagai cobaan dan ujian dari Allah SWT.
Kita percaya bahwa semua peristiwa yang terjadi itu telah ditetapkan di sisi Allah sebelum Dia menciptakan bumi beserta isinya. Itulah ketetapan takdir yang diturunkan di berbagai zaman yang tidak perlu kita sambutnya dengan penyesalan dan kesedihan mendalam atau dengan kegembiraan yang berlebihan. Hal itu dimaksudkan agar jiwa manusia yang beriman terbiasa untuk tidak mengeluh kecuali lantaran sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah SWT, dan tidak bergembira kecuali karena sesuatu yang dapat menambah pahala baginya di sisi Allah SWT. Itulah standar dan tolok ukur sesungguhnya yang dengannya kita menganalogikan setiap peristiwa yang terjadi. Dalam konteks ini Allah SWT berfirman :
ما أصاب من مصيبة فى الأرض ولا فى أنفسكم إلا فى كتاب من قبل ان نبرأها إن
ذالك على الله يسير لكيلا تأسوا علا ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتكم والله
لايحب كل مختال فخور
Itulah prilaku keimanan yang Allah hendak mengarahkan perhatian kita kepadanya. Janganlah kita dikejutkan oleh peristiwa duniawi, apapun bentuknya. Sebab dunia memang silih berganti. Anda hari ini kaya dan besok miskin. Hari ini anda kuat dan besok lemah. Hari ini anda jaya dan besok jatuh hina. Perubahan itulah yang menjadi karakter dunia. Oleh sebab itu haruslah anda pandai-pandai memaknainya secara hakiki. Semua peristiwa yang terjadi saat ini tidaklah akan berlangsung seterusnya. Kalau hari ini gelap, maka besok datang sinar terang. Kalau hari ini dalam keadaan kesulitan, maka besok akan datang kemudahan. Itulah makna semua peristiwa yang selalu berganti. Yang tetap satu-satunya hanyalah apa yang anda lakukan untuk kehidupan Akhirat. Itulah sesuatu yang harus kita raih secara sungguh-sungguh.
Ada seorang saleh yang setiap kali kedatangan pengemis yang meminta uang atau makanan ia menyambutnya dengan gembira, padahal pengemis itu akan mengambil sesuatu yang ia miliki. Namun ia menyambutnya dengan suka cita sambil mengatakan: “Selamat Datang orang yang mengantarkan kebaikanku ke akhirat”. Dia katakan demikian karena ia tahu bahwa pengemis itu datang membawa kebaikan untuk dirinya, ia datang untuk menyisakan baginya apa yang dimilikinya. Seandainya ia mengkonsumsi semua makanan itu atau membelanjakan uangnya pastilah habis, tetapi karena ia sedekahkannya, maka berarti ia menabungnya untuk ia ambil pahalanya di sisi Allah kelak di akhirat.
Allah SWT mengajarkan kepada kita agar kita tidak memberikan makna dari setiap peristiwa sesuai dengan pemahaman kita sendiri, tetapi kita serahkan pemaknaannya kepada Allah dan tidak perlu kita mencoba menganalisisnya secara filosofis. Dalam masalah ini, Allah SWT berfirman:
وعسى أن تكرهوا شيأ وهو خير لكم
Di dalam ayat lain Allah berfirman :
فعسى أن تكرهوا شيأ ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
"Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak". Qs An-Nisa : 19
Allah SWT hendak membekali kita dengan perlindungan keimanan menghadapi setiap peristiwa yang menyelimuti kita. Jika terjadi atas diri kita sesuatu yang tidak kita senangi, kita teringat ayat-ayat ini dan kita katakan: Mudah-mudahan Allah menaruh pada peristiwa yang menimpa kita ini suatu kebaikan yang kita tidak mengetahuinya. Mudah-mudahan Allah menaruh pada apa yang tidak kita sukai ini suatu kebaikan yang banyak. Sikap demikian itu akan meringankan penderitaan jiwa manusia ketika tertimpa sesuatu yang tidak disukainya. Dan dalam waktu yang sama, membangkitkan rasa optimisme bagi kita. Selain itu, Allah SWT ingin memahamkan kepada kita bahwa dalam segala peristiwa yang kita alami, kitalah yang menyebabkan keburukan di dalamnya.
Banyak yang bertanya, bukankah Televisi itu merupakan keburukan? Ia menyita pekerjaan, waktu shalat dan melalaikan manusia dari mengingat Allah. Kami katakan kepada mereka: Tidak bisa kita menilai Televisi sebagai sesuatu yang buruk, tetapi pemakaiannya oleh manusialah yang dapat merubahnya menjadi baik atau buruk. Seandainya Televisi itu digunakan untuk mengajar masyarakat luas tentang agama mereka dan memberikan penerangan bagi mereka tentang shalat, zakat dan rukun-rukun Islam lainnya, tentu merupakan kebaikan. Sebaliknya seandainya ia dijadikan sarana untuk menayangkan tari-tarian dan lagu-lagu yang dapat melalaikan masyarakat luas dari agamanya, tentu merupakan keburukan.
Allah SWT membuat berbagai perumpamaan dalam Al-Quran, bahwa kitalah sebagai manusia yang memberi makna pada setiap yang ada dalam kehidupan ini. Allah berfirman:
ومن ثمرات النخيل والأعناب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا إن فى ذلك لاية لقوم يعقلون
"Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan". Qs An-Nahl: 67
Allah SWT ingin menjelaskan kepada kita bahwa pemakaian kita terhadap sesuatu, itulah yang memberinya makna baik dan buruk, bukan karena sesuatu itu sendiri. Misalnya anggur dan kurma, Allah menciptakan keduanya sebagai rezeki baik yang memberikan rasa lezat dan nilai gizi yang baik dan lain-lain. Tidak terdapat padanya suatu keburukan atau suatu bahaya bagi manusia, tetapi lalu apa yang dilakukan oleh manusia terhadap rezeki yang baik itu?
Manusia mengambilnya dan merubah fungsinya menjadi rezeki yang tidak baik dengan menjadikannya minuman keras yang dapat menutupi akal pikiran dan menghalanginya dari tugasnya dan yang termasuk salah satu dosa paling besar serta induk segala kejahatan di dunia.
Apakah Allah SWT menciptakan anggur dan kurma untuk tujuan tersebut? Apakah Dia menciptakannya untuk membantu manusia meminum minuman keras dan berbuat maksiat? Tentu tidak demikian. Jadi, siapakah yang merusak fungsi kedua rezeki baik itu dalam hidup ini? Dan siapakah yang merubahnya dari rezeki baik menjadi rezeki haram? Itulah manusia yang memperoleh kenikmatan itu lalu ia merusak maknanya dan merusak fungsinya serta menjadikannya alat untuk berbuat dosa dan permusuhan, yang seharusnya ia jadikannya sebagai sarana untuk mengingat Allah dan mensyukuri nikmat-Nya.
Sumber : Terjemah Al-Khair wasy Syar karya As-Syeikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Habib Ahmad Novel Jindan
Posting Komentar untuk "Iman Merupakan Syarat Utama Terkabulnya Amal"