Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Amal Pemusnah Kebaikan Bagian 2

Amal Pemusnah Kebaikan Bagian 2

Bala Tentara Hati

Hati mempunyai bala tentara yang bisa dikelompokkan menjadi tiga pasukan.

Pasukan pertama adalah pasukan pendorong dan penyemangat, baik untuk mendatangkan manfaat yang diinginkan—sebagaimana yang dilakukan oleh prajurit yang bernama nafsu [syahwah]—maupun untuk menolak bahaya yang merusak—sebagaimana yang dilakukan oleh prajurit yang bernama amarah (ghadhab). Pasukan penyemangat ini dinamakan kehendak (iradah).

Pasukan kedua adalah penggerak anggota badan untuk mewujudkan apa yang diinginkan pasukan kehendak. Pasukan ini dinamakan   kekuatan (qudrah).

Pasukan ketiga adalah bertugas untuk mencerap dan mengetahui berbagai hal, laksana mata-mata. Mereka adalah indra penglihat, pendengar, pencium, perasa, dan peraba. Pasukan ini dinamakan ilmu dan pencerahan (indrak).

Keistimewaan Hati Manusia

Karena keistimewaannya, hati manusia memperoleh kemuliaan dan kedudukan yang tinggi serta kelayakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Keistimewaan ini dikarenakan ilmu dan kehendak yang dimilikinya.

Yang dimaksud dengan ilmu adalah pengetahuan mengenai berbagai hal yang bersifat duniawi maupun ukhrawi dan berbagai hakikat yang bersifat rasional. Pengetahuan ini bersifat metafisik, tidak kasat mata, dan tidak dimiliki oleh bangsa hewan.

Mengenai kehendak [iradah), jika seseorang melalui bantuan nalarnya mengetahui dampak dari suatu perbuatan dan jalan untuk meraih kemaslahatannya, akan muncul dari dalam dirinya suatu hasrat untuk meraih kemaslahatan tersebut serta hasrat untuk menempuh jalan kemaslahatan tersebut. Kehendak di sini berbeda dari kehendak nafsu dan kehendakyang dimiliki bangsa hewan. Bahkan ia berlawanan dengan tabiat nafsu itu sendiri. Contohnya, nafsu berkehendak meng-hindari operasi pembedahan, tetapi nalar justru menghendakinya.

Jadi, hati manusia diberi keistimewaan berupa ilmu dan kehendak, dua hal yang tidak dimiliki oleh bangsa hewan. Bahkan seorang anak kecil pada masa-masa awal pertumbuhannya pun belum memiliki kedua hal tersebut. Keduanya baru dimiliki anak sesudah mencapai usia baligh.

Dalam memperoleh ilmu dan kehendak, seorang manusia memiliki dua tahapan:

Pertama, jiwa seorang yang sudah dipenuhi dengan pengetahuan-pengetahuan aksiomatik tingkat dasar [‘ulum dharuriyyah awwaliy-yah), seperti pengetahuan bahwa segala sesuatu yang mustahil tidak mungkin terjadi dan bahwa segala sesuatu yang mungkin terjadi bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi. Maka pada tahap ini, seseorang belum memperoleh ilmu pengetahuan teoretis-spekulatif, tetapi hal tersebut bukan termasuk perkara yang mustahil. la seperti seorang anak yang baru mengerti tinta, pena, dan huruf-huruf tunggal (bukan berangkai) dalam dunia penulisan; maka dalam kondisi ini, ia sudah dekat dengan kemampuan menulis, tetapi belum menguasainya.

Kedua, seseorang memperoleh ilmu melalui pengalaman dan perenungan. Maka ilmu tersebut bagaikan simpanan baginya, yang bisa ia ambil kapan saja ia mau.

Para pemilik ilmu pada tahap kedua ini mempunyai tingkatan-tingkatan yang tak terbatas. Perbedaan tingkatan mereka antara lain ditentukan oleh banyak-sedikitnya ilmu mereka, kemuliaan dan kehinaan ilmu mereka, dan cara mendapatkannya. Karena sebagian orang mendapatkan ilmu melalui ilham dari Allah, sementara yang lain memperolehnya dengan belajar dan bersusah payah. Ada orang yang mendapatkan ilmu dengan cepat dan ada yang lambat. Jadi, tingkatan perolehan ilmu sangat banyak dan tak terbatas. Tingkatan tertinggi adalah tingkatan nabi, yang mana semua atau sebagian besar hakikat pengetahuan disingkapkan kepadanya tanpa harus belajar dan bersusah payah, tetapi melalui ilham Ilahi yang berlangsung sangat cepat.

Ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Dengan ilmu itu manusia mencapai kesempurnaan. Dengan kesempurnaan itu ia akan mendapatkan kebahagiaan dan kebaikan di sisi Allah yang Maha Agung nan Sempurna. Tubuh manusia diciptakan sebagai kendaraan bagi jiwa, jiwa sebagai habitat bagi ilmu, dan ilmu menjadi tujuan dan keistimewaan manusia, yang karenanya ia diciptakan. Manusia berada pada kedudukan di antara hewan dan malaikat. Dari sisi bahwa ia makan dan berkembang biak, manusia adalah sejenis tumbuhan. Dari sisi bahwa ia bisa merasakan dengan indra dan bergerak, ia adalah sejenis binatang. Dilihat dari rupa dan bentuknya, manusia seperti lukisan yang dipahat di dinding. Namun, satu-satunya keistimewaan manusia adalah ia bisa mengetahui hakikat dari berbagai hal.

Barang siapa menggunakan semua anggota tubuh dan kekuatannya untuk mendapatkan ilmu dan beramal, sungguh ia telah menyerupai malaikat. Namun, barang siapa memalingkan perhatiannya terhadap berbagai kesenangan ragawi dan menurutinya, dan ia makan seperti makannya binatang maka ia telah jatuh ke dalam golongan hewan.

Adalah mungkin bagi manusia untuk menggunakan setiap anggota tubuh untuk sampai kepada Allah. Siapa yang menggunakannya untuk sampai kepada Allah, ia beruntung. Dan siapa yang menggunakannya untuk selain itu, sungguh ia telah merugi dan malang. Puncak kebahagiaan adalah jika seseorang menjadikan pertemuan dengan Allah sebagai tujuan, akhirat sebagai rumah tinggal, dunia sebagai rumah singgah, badan sebagai kendaraan, dan anggota badan sebagai alat bantu.

Sayyidina Ali—semoga Allah meridlai dan memuliakannya— memberikan perumpamaan menarik mengenai hati. Ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di bumi, yaitu hati. Maka hati yang paling Dia sukai adalah yang paling lembut, paling jernih, dan paling kokoh.” Kemudian Sayyidina Ali menjelaskan, “Yaitu yang paling kokoh dalam agamanya, paling jernih keyakinannya, dan paling lembut kepada saudaranya sesama Muslim.” Penjelasan ini merujuk pada firman Allah Swt, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS. Al-Fath [48]: 29). Juga merujuk pada firman-Nya, “(Perumpamaan cahaya-Nya) seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar” (QS. Al-Nuur [24]: 35). Ubai bin Ka’ab r.a. mengatakan bahwa itu merupakan perumpamaan bagi cahaya orang mukmin dan hatinya. Juga merujuk pada firman Allah, (Keadaan orang-orang kafir) seperti pekatnya kegelapan di lautan yang dalam. (QS An-Nur [24]: 40). Ini merupakan perumpamaan bagi hati orang munafik. Zaid bin Aslam mengatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah,”… di Lauhul Mahfuzh,” adalah hati orang mukmin. Sahal At-Tustari mengatakan, “Perumpamaan hati dan dada adalah laksana Arasy dan Kursi.” Jadi, inilah perumpamaan-perumpamaan bagi hati manusia.

Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidh

Oleh Habib Ahmad Novel Jindan

Selanjutnya: Amal Pemusnah Kebaikan Bagian 3

Posting Komentar untuk "Amal Pemusnah Kebaikan Bagian 2"