Muhammad Ibnu Qasim, Sang Perintis Peradaban Islam di Asia Selatan
Bersenjatakan ketapel raksasa dan batu berapi, pasukan Muslim mampu membebaskan Asia Selatan. Di bawah kepemimpinan Muhammad Bin Qasim, Asia Tengah mulai mengenal Peradaban Islam
Masuknya Islam ke kawasan Asia Selatan-India dan Pakistan sekarang – dimotori oleh seorang tokoh Mujahid bernama Muhammad Ibnu Qasim. Pada abad ke delapan Masehi, dalam waktu kurang dari dua tahun, panglima perang muslim itu dengan gagah berani berhasil mematahkan perlawanan pasukan beberapa kerajaan yang masih beragama Hindu di wilayah itu. Dan sejak itulah, Islam mulai berkembang dengan pesat di anak benua Asia tersebut.
Muhammad Ibnu Qasim lahir pada tahun 695 M di zaman keemasan dinasti Bani Umayyah. Ketika itu, kaum muslimin sudah mulai menguasai beberapa wilayah di Timur dan Barat. Di kawasan Timur, Qutaiba Ibnu Muslim menghancurkan perlawanan pasukan Tartar sehingga sebagian kawasan Asia tengah memeluk Islam. Sementara di Barat, Musa Ibn Nusair membebaskan hampir seluruh kawasan Afrika Utara. Bersama salah seorang jenderalnya, Thariq bin Ziyad, ia berhasil menduduki semenanjung Liberia kemudian masuk ke Spanyol dan selanjutnya menembus ke jantung Eropa.
Ibnu Qasim tumbuh sebagai anak muda yang cerdas dan pemberani. Tak mengherankan bila Hajjaj bin Yusuf, Gubernur ketika itu, mengangkat Ibnu Qasim, yang kebetulan kemenakannya sendiri, sebagai panglima perang. Ibnu Qasim yang saat itu belum genap berusia 17 tahun, dipercaya memimpin sebuah pasukan beranggotakan 6.000 prajurit. Pasukan besar ini segera berangkat ke medan perang untuk merebut Debal, ibukota Sind (sekarang Pakistan).
Ketika Sind diperintah oleh Dahir Charch, seorang raja yang otoriter bukan hanya menguasai Sind, ia juga menguasai Baluchistan, Makram, Gujarat, marwar dan sebagian Punjab, kawasan-kawasan yang beribukota di Debal, yang terletak di jalur barat sungai Indus. Hubungan dengan kekhalifahan Islam agak kurang serasi, karena ia terlalu suka melindungi sejumlah pemberontak. Bahkan tentaranya sering merampas barang-barang milik pedagang Muslim di Debal, dalam perjalanan mereka dari Ceylon ke Jazirah Arab. Tidak hanya itu, mereka juga sering menahan anak-anak dan perempuan keluarga pedagang Muslim. Raja Dahir selalu menolak membebaskan mereka, meskipun beberapa kali Khalifah memperotes.
Bisa dimaklumi jika kemudian pasukan Ibnu Qasim menyerang mereka. Dengan bersenjatakan ketapel raksasa dan batu besar berapi, 6.000 pasukan muslim mengepung dan menggempur Debal. Perang yang sangat dahsyat pun pecah hingga berlangsung beberapa hari. Pada awalnya Raja Dahir mampu mengimbangi serbuan itu karena mendapat dukungan sebagian raja kecil Hindu di beberapa kawasan di anak benua itu.
Pasukan Dahir berjumlah 10.000 tentara, terdiri dari pasukan gajah dan pemanah yang sangat mahir. Dahir sendiri mahir mengatur strategi perang. Ketika pasukan muslim mulai letih, ia menggerakkan pasukannya untuk menyerang habis-habisan. Tapi ketika terdesak ia sempat mengunci diri dibalik benteng kota Debal yang kukuh dan sangat sulit ditembus.
Meski begitu pasukan muslim dengan siasat perang yang jitu, bisa merubah situasi. Pasukan muslim mendadak menguasai medan pertempuran dan mengalahkan musuh. Mereka bersenjatakan ketapel raksasa yang di sebut Uroos. Sebuah batu besar berapi menyala-nyala yang dilontarkan dengan Uroos berhasil mematahkan tiang bendera musuh di puncak benteng. Pasukan yang terkepung dalam benteng membaca hal itu sebagai pertanda buruk. Maka akhirnya mereka keluar dari benteng, dan disambut pasukan muslim dengan gempuran habis-habisan. Pasukan musuh pun bertekuk lutut.
Setelah berhasil membebaskan Debal, pasukan Ibnu Qasim menyerbu kerajaan Nerwal. Dalam waktu tak terlalu lama, Raja Nerwal menyerah tanpa perlawanan berarti. Dari Nerwal Ibnu Qasim bergerak ke Bherah. Tapi disana pasukannya mendapat perlawanan dahsyat, meski akhirnya mampu mengalahkan Raja Vijay Ray. Setelah itu berturut-turut Ibnu Qasim merebut Sehwan, benteng Sesam, dan Sahihah, tampa perlawanan berarti. Ia juga bergerak ke sisi barat sungai Indus. Sampai di sebuah kawasan dekat Jhimpir, sisi Timur sungai Indus, pasukan Ibnu Qasim berhadapan lagi dengan sebagian pasukan Raja Dahir yang berkekuatan besar yang dipimpin oleh Jenderal Jay Singh.
Di tengah pertempuran dahsyat, pasukan Ibnu Qasim menyeberangi Sungai Indus yang lebar dan berarus kuat. Mereka menggunakan beberapa perahu kecil di ikat satu dengan yang lain. Setiap perahu diawaki oleh lima pemanah pilihan, perahu paling depan ditarik dengan Mangonel semacam mesin penggerak. Pasukan berperahu itupun bergerak mengikuti arus, menyerang musuh di seberang sungai dengan ribuan anak panah. Walhasil, musuhpun dapat dipukul mundur.
Dari sisi sungai di seberang sana, pasukan Ibnu Qasim merangsek masuk ke jantung pertahanan musuh, dan akhirnya berhasil merebut Jhimpir. Dari sana mereka menguntit pasukan pengawal Raja Dahir yang berlindung di benteng Rawar. Dengan mudah pasukan Dahir dikalahkan dan menyerah, sementara sang Raja terbunuh.. pertempuran lainnya pecah di Brahmanabad, dan dimenangkan oleh pasukan muslim. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Hindu di bawah pimpinan Jay Singh, yang buru-buru melarikan diri kearah Kashmir.
Pasukan muslim lalu bergerak maju lagi untuk merebut wilayah-wilayah di sekitar Rohri, dan seterusnya merangsek ke Sikka. Dalam pertempuran dahsyat selama beberapa hari, banyak korban jatuh di kedua belah pihak. Dan akhirnya dengan sekuat tenaga, pasukan muslim menggempur Multan, basis pasukan Hindu yang cukup kuat.
Akhirnya, hanya dalam waktu dua tahun (712-714) pasukan muslim di bawah komando Muhammad Ibnu Qasim berhasil memenangkan 11 kali pertempuran dahsyat melawan pasukan Raja Dahir. Ibnu Qasim sendiri ternyata tidak hanya hebat di medan pertempuran, tapi juga piawai sebagai pemimpin di masa damai. Ia memerintah kawasan luas yang dikuasainya dengan adil. Tak mengherankan jika rakyat, baik muslim maupun non-muslim, sangat menghormatinya.
Pada masa Ibnu Qasim, sesungguhnya awal kebijakan daerah diterapkan, kebijakan otonomi daerah pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan diterapkan. Masa itu adalah masa peralihan antara pemerintahan dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah, ketika hukum dan perundang-undangan diperluas pelaksanaannya sampai ke kawasan selatan seperti Karachi. Selain itu sejumlah kota dibangun dengan tujuan untuk memperluas dakwah. Sementara Bahasa Arab mulai diperkenalkan sebagai bahasa resmi.
Beberapa abad kemudian, ketika Ghaznavids (976-1148) dua penguasa pribumi India yang beragama Islam, memerintah wilayah-wilayah tersebut, pelaksanaan hukum dan perundang-undangan berdasarkan syariat Islam diperluas hingga ke Delhi. Dan sejak tahun 1206 sampai 1526, lima dinasti secara bergantian memerintah dengan tetap mempertahankan hukum dan perundang-undangan Islam. Begitu juga ketika Sultan Mughal (1526-1707) memerintah kawasan yang sudah dibebaskan itu.
Bersamaan dengan itu pula ada kecenderungan mengembangkan bahasa Persia sebagai bahasa resmi, meskipun literatur agama masih banyak yang menggunakan bahasa Arab. Dan selaras dengan perkembangan politik, saat itu pemerintah Islam juga mengembangkan institusi-institusi politik, ekonomi, sosial dan agama.
Posting Komentar untuk "Muhammad Ibnu Qasim, Sang Perintis Peradaban Islam di Asia Selatan"