Dokter Hati, Cerita Dari Bidadari Bumi
Dokter Hati, Cerita Dari Bidadari Bumi |
Jika rasa benci atau cinta yang berlebihan tanpa sebab yang jelas adalah salah satu penyakit yang harus diobati, itu sudah kutahu dari dulu. Tetapi kalau diobatinya adalah dengan cara dadamu diusap, kepalamu dipegang sambil didoakan agar kebencian di hatimu terhadap seseorang dapat hilang, seumur hidup baru kali ini kurasakan.
Memang aneh. Bagaimana rasa benci terhadap salah seorang pelajar yang kuajari datang secara tiba-tiba, tanpa ada sebab bahkan tanpa niat. Aku tiba-tiba tidak ingin memandang wajahnya, pening kepala mendengar suaranya. Bahkan, sungguh baru kutahu bahwa aku bisa benar-benar muntah tatkala secara tidak sengaja terlihat wajahnya. Lebih aneh lagi, dia termasuk pelajar terbaik di kelasnya, cerdas, aktif, menurut kata dan yang pasti, dia tidak pernah mempunyai masalah apa-apa denganku. Dia pasti tertanya-tanya dan bingung ketika kemudian aku memintanya untuk duduk di barisan belakang dan tidak berada tepat di hadapanku karena aku tidak boleh fokus sama sekali dalam posisi duduk yang seperti itu. Dia dan juga teman-teman sekelasnya pasti bingung ketika aku memintanya untuk menuliskan saja pertanyaan yang akan dilontarkannya agar aku tidak mendengar suaranya yang boleh membuat isi perutku naik ke dada dan menyebabkan mual secara mendadak.
Jangan kau kira aku tidak berusaha apa-apa untuk menghilangkannya. Berulang kali aku merenung, berperang dengan diri sendiri dan mencoba menenangkan hati saat kebencian itu meluap-luap. Usahaku ternyata tidak membuahkan hasil. Doa dan dzikir selalu kubaca setiap kali terpikir bahwa ini merupakan salah satu ujian untukku. Namun semuanya belum cukup untuk menghilangkan rasa itu.
Setengah mati kucoba menyembunyikan kebencian ini darinya, namun sepertinya dia mulai merasakannya. Dia lebih banyak diam di sepanjang mata pelajaranku. Dia duduk paling belakang dan tak lagi terlihat tersenyum seperti biasanya. Aduh... Aku telah melukai hatinya, aku telah menyakiti perasaannya.
Teman sebilikku yang juga seorang Ustadzah mulai merasakan ketidaknyamanan ini. Kuceritakan adanya keanehan yang terjadi, lengkap dengan pembelaan bahwa rasa itu muncul tiba-tiba dan tanpa ada sebab. Entah apa yang ada dalam benaknya.
Suatu siang, sepulangnya dari masjid selepas shalat Dhuhur, dia memintaku berkemas dan kemudian kami berdua bergegas pergi menemui seorang wanita berusia 60-an. Temanku ini memanggilnya dengan panggilan Hubabah Umairah.
Kami menunggu cukup lama di ruang tamu karena beliau sedang ada tetamu yang lain. Kemudian kami dipersilakan menemui beliau di ruang tengah rumahnya. ”Pakar terapi? Dokter jiwa? Ahli psikologi? Atau bahkan dukun?” Aku menerka-nerka. Namun bayangan itu hilang seketika saat aku melihat dirinya. Beliau adalah seorang wanita dengan wajah keibuan. Bicaranya lembut dan penuh senyuman. Di hadapannya, aku merasa seolah-olah bertemu dengan seseorang yang telah lama kukenal.
Siang itu, masih dalam keadaan memakai telekung selepas shalat Dhuhur, beliau menyambut kami dengan hangat lalu menanyakan kabar Al-Habib Umar bin Hafidh, guru kami.
Kemudian dengan penuh perhatian, beliau mendengarkan apa yang dituturkan temanku mengenai diriku yakni tentang rasa benci yang tiba-tiba kurasakan sebagai sesuatu yang tidak wajar karena sebelum ini aku tidak pernah membenci seseorang tanpa sebab yang jelas.
Lalu beliau berdiri menghampiriku, memegang kepalaku seraya menggumamkan doa-doa dan dzikir. Tidak lama kemudian, beliau duduk di hadapanku dan mengusap dadaku sambil tidak berhenti berdoa. Beliau mengakhiri bacaan-bacaannya dengan meminta kami semua membaca surat Al-Fatihah bersama-sama. ”Ada 2 orang yang paling banyak didengki oleh orang lain di atas muka bumi ini,” katanya sambil menuangkan teh ke cangkir kecil dan menghidangkannya kepada kami. ”Orang yang berharta dan orang yang berilmu,” lanjut beliau. ”Jika kamu termasuk salah seorang dari pada mereka, pandai-pandailah menjaga sikap saat bergaul dan berurusan dengan orang lain. Pandai-pandai pulalah menyimpan rasa karena bahkan orang yang terlihat dicintai oleh kedua orang ini pun akan menimbulkan iri hati dan dengki dari yang lainnya. Sepertinya itulah yang terjadi padamu,” katanya bijak.
Kami pulang setelah memperoleh anjuran beliau untuk membaca beberapa dzikir saat suasana hati sedang tidak menentu.
Dan, Subhaanallah... Apa yang kemudian terjadi sesampainya di asrama begitu luar biasa. Di pintu masuk, aku berjumpa dengan pelajar yang pagi tadi perasaanku adanya masih dipenuhi dengan kebencian. Aku pandang wajahnya dan dia menunduk takut. Kucari kebencian yang selama seminggu ini menyiksaku dan tentu saja menyiksanya. Namun rasa itu tidak bersisa lagi. Hilang sepenuhnya, entah ke mana. Aku segera menyalami dan memeluknya sementara dia kebingungan. Tidak mengerti apa yang terjadi. ”Maafkan aku...” kataku. ”Ada apa, Ustadzah?” tanyanya kebingungan. ”Aku tidak boleh menjelaskannya tetapi yang pasti, aku meminta maaf padamu atas semua kesalahanku yang kamu tahu atau pun tidak tahu,” jawabku lirih sambil melepaskan pelukanku dari padanya.
Tujuh tahun berlalu sejak kejadian itu. Salah satu agenda kegiatan kunjungan kami ke Hadramaut adalah berziarah kepada para orang tua yang dihormati yang masih ada. Selain meminta nasihat, kami menggunakan kesempatan yang berharga ini untuk memohon agar mereka berkenan mendoakan kami. Dan nama Hubabah Umairah aku masukkan dalam daftar kunjungan tersebut.
Alhamdulillaah, sekembalinya aku ke tanah air, aku mendapat kepercayaan dari sebuah biro perjalanan haji dan umrah untuk membimbing jemaah mereka yang hendak menunaikan ibadah umrah setahun sekali. Rombongan yang terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang itu aku pimpin untuk menunaikan ibadah umrah sekaligus berziarah ke negeri Hadramaut, tempat aku pernah menuntut ilmu suatu ketika dulu.
Kami duduk di hadapan Hubabah Umairah dan meminta beliau mendoakan kami. Beliau terlihat jauh lebih tua dari pada saat ku temui beberapa tahun silam. Kedut di wajahnya semakin dalam. Hanya semangat dan kepercayaan dirinya terhadap ALLAH SWT yang kulihat tetap sama. Aku berusaha menterjemahkan percakapan rombonganku kepada beliau dan percakapan beliau kepada mereka. Dan ketika semuanya usai, aku berkata kepada beliau: ”Sekarang giliranku, ” Hubabah kataku sambil mendekat. ”Doakan agar ALLAH SWT berkenan mengkaruniakanku keturunan. Hampir 4 tahun aku menikah, aku masih belum dikarunia anak.” Beliau mendengarkan dengan saksama lalu berujar dengan santai: ”Halimah, tidakkah kamu merasa hidup ini sudah begitu sibuk? Ada banyak hal di dunia ini yang menyibukkan kita dari pada ibadah kepada ALLAH. Dari 24 jam sehari semalam yang ALLAH SWT berikan, hanya beberapa jam yang tersisa yang kita gunakan untuk-NYA. Apakah engkau masih ingin menambah kesibukanmu pula dengan urusan anak?”
Aku tersentak mendengar ucapannya yang tidak kusangka. Beliau melanjutkan lagi. ”Aku menikah dan dari sejak awal pernikahanku, aku selalu berharap jika dengan kehadiran anak-anak akan menyibukkanku dari-NYA, maka tanpa karunia anak pun, aku tidak apa-apa. Aku tidak ingin disibukkan dengan selain-NYA.” ”Tetapi bukankah mereka akan menjadi penerus amal kebaikan kita tatkala kita mati nanti?” kataku membela diri. ”Tidak adakah hal lain yang boleh menggantikannya? Ilmu yang kita ajarkan dan diamalkan bahkan oleh generasi mendatang setelah kita, doa dari orang yang kita pernah berbuat baik padanya, amal jariyah yang kita lakukan dan manfaatnya terus dirasakan?” Aku terdiam dan berpikir panjang. Hubabah Umairah tidak memberi ruang untukku menjawab ucapannya. ”Tapi... tapi... aku masih menginginkannya. Walau mungkin hanya untuk sekadar kesempurnaan menjadi seorang wanita,” kataku tersangkut-sangkut. ”Benar, anakku. Aku memahamimu. Oleh karena itu, aku akan tetap mendoakanmu. Namun, yakin dan senantiasa percaya; bahwa apa pun yang DIA pilihkan untukmu, itu merupakan hal terbaik yang DIA karuniakan. DIA mengetahui segalanya dan kita tidak mengetahui apa pun sesungguhnya.”
Kata-kata bijaknya selalu kukenang sampai saat ini. Dan sampai saat ini pula, aku selalu berdoa semoga ALLAH SWT. berkenan memanjangkan umurnya agar masih banyak orang-orang sepertiku yang dapat memetik pelajaran darinya. Tentang tujuan hidup yang sebenarnya, tentang tawakkal, tentang keikhlasan, tentang segala hal. Meski entah, apakah orang seperti beliau berharap masih ingin lebih lama hidup di muka bumi ini atau justru sudah merindukan kematian sebagai jambatan pertemuannya dengan SANG PENCIPTA?
BIDADARI BUMI Oleh Ustadzah Syarifah Halimah Al-Aydrus
Baca Juga: Kisah Seorang Pengemis, Budak dan Orang Kaya Yang Buta
Kami pulang setelah memperoleh anjuran beliau untuk membaca beberapa dzikir saat suasana hati sedang tidak menentu.
Dan, Subhaanallah... Apa yang kemudian terjadi sesampainya di asrama begitu luar biasa. Di pintu masuk, aku berjumpa dengan pelajar yang pagi tadi perasaanku adanya masih dipenuhi dengan kebencian. Aku pandang wajahnya dan dia menunduk takut. Kucari kebencian yang selama seminggu ini menyiksaku dan tentu saja menyiksanya. Namun rasa itu tidak bersisa lagi. Hilang sepenuhnya, entah ke mana. Aku segera menyalami dan memeluknya sementara dia kebingungan. Tidak mengerti apa yang terjadi. ”Maafkan aku...” kataku. ”Ada apa, Ustadzah?” tanyanya kebingungan. ”Aku tidak boleh menjelaskannya tetapi yang pasti, aku meminta maaf padamu atas semua kesalahanku yang kamu tahu atau pun tidak tahu,” jawabku lirih sambil melepaskan pelukanku dari padanya.
Tujuh tahun berlalu sejak kejadian itu. Salah satu agenda kegiatan kunjungan kami ke Hadramaut adalah berziarah kepada para orang tua yang dihormati yang masih ada. Selain meminta nasihat, kami menggunakan kesempatan yang berharga ini untuk memohon agar mereka berkenan mendoakan kami. Dan nama Hubabah Umairah aku masukkan dalam daftar kunjungan tersebut.
Alhamdulillaah, sekembalinya aku ke tanah air, aku mendapat kepercayaan dari sebuah biro perjalanan haji dan umrah untuk membimbing jemaah mereka yang hendak menunaikan ibadah umrah setahun sekali. Rombongan yang terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang itu aku pimpin untuk menunaikan ibadah umrah sekaligus berziarah ke negeri Hadramaut, tempat aku pernah menuntut ilmu suatu ketika dulu.
Kami duduk di hadapan Hubabah Umairah dan meminta beliau mendoakan kami. Beliau terlihat jauh lebih tua dari pada saat ku temui beberapa tahun silam. Kedut di wajahnya semakin dalam. Hanya semangat dan kepercayaan dirinya terhadap ALLAH SWT yang kulihat tetap sama. Aku berusaha menterjemahkan percakapan rombonganku kepada beliau dan percakapan beliau kepada mereka. Dan ketika semuanya usai, aku berkata kepada beliau: ”Sekarang giliranku, ” Hubabah kataku sambil mendekat. ”Doakan agar ALLAH SWT berkenan mengkaruniakanku keturunan. Hampir 4 tahun aku menikah, aku masih belum dikarunia anak.” Beliau mendengarkan dengan saksama lalu berujar dengan santai: ”Halimah, tidakkah kamu merasa hidup ini sudah begitu sibuk? Ada banyak hal di dunia ini yang menyibukkan kita dari pada ibadah kepada ALLAH. Dari 24 jam sehari semalam yang ALLAH SWT berikan, hanya beberapa jam yang tersisa yang kita gunakan untuk-NYA. Apakah engkau masih ingin menambah kesibukanmu pula dengan urusan anak?”
Aku tersentak mendengar ucapannya yang tidak kusangka. Beliau melanjutkan lagi. ”Aku menikah dan dari sejak awal pernikahanku, aku selalu berharap jika dengan kehadiran anak-anak akan menyibukkanku dari-NYA, maka tanpa karunia anak pun, aku tidak apa-apa. Aku tidak ingin disibukkan dengan selain-NYA.” ”Tetapi bukankah mereka akan menjadi penerus amal kebaikan kita tatkala kita mati nanti?” kataku membela diri. ”Tidak adakah hal lain yang boleh menggantikannya? Ilmu yang kita ajarkan dan diamalkan bahkan oleh generasi mendatang setelah kita, doa dari orang yang kita pernah berbuat baik padanya, amal jariyah yang kita lakukan dan manfaatnya terus dirasakan?” Aku terdiam dan berpikir panjang. Hubabah Umairah tidak memberi ruang untukku menjawab ucapannya. ”Tapi... tapi... aku masih menginginkannya. Walau mungkin hanya untuk sekadar kesempurnaan menjadi seorang wanita,” kataku tersangkut-sangkut. ”Benar, anakku. Aku memahamimu. Oleh karena itu, aku akan tetap mendoakanmu. Namun, yakin dan senantiasa percaya; bahwa apa pun yang DIA pilihkan untukmu, itu merupakan hal terbaik yang DIA karuniakan. DIA mengetahui segalanya dan kita tidak mengetahui apa pun sesungguhnya.”
Kata-kata bijaknya selalu kukenang sampai saat ini. Dan sampai saat ini pula, aku selalu berdoa semoga ALLAH SWT. berkenan memanjangkan umurnya agar masih banyak orang-orang sepertiku yang dapat memetik pelajaran darinya. Tentang tujuan hidup yang sebenarnya, tentang tawakkal, tentang keikhlasan, tentang segala hal. Meski entah, apakah orang seperti beliau berharap masih ingin lebih lama hidup di muka bumi ini atau justru sudah merindukan kematian sebagai jambatan pertemuannya dengan SANG PENCIPTA?
BIDADARI BUMI Oleh Ustadzah Syarifah Halimah Al-Aydrus
Baca Juga: Kisah Seorang Pengemis, Budak dan Orang Kaya Yang Buta
Posting Komentar untuk "Dokter Hati, Cerita Dari Bidadari Bumi"