Manaqib Syekh Imam Abu Hasan Asy-Syadzili
Sayyidina Syekh Abul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili Al Maghribi Al-Hasani Al-Idrisi lahir di Ghamarah, desa dekat Sabtah, Maroko, Afrika Utara pada tahun 591 H / 1195 M. Sebutan Asy-Syadzili itu sendiri, menurut sebagian ulama adalah daerah tempat dimana beliau banyak menimba ilmu saat mudanya.
Beliau secara
nasab bersambung hingga Rasulullah SAW melalui puterinya Sayyidatuna Fatimah
Az-Zahrah. Keistimewaan nasab ini tampak dalam budi pekerti beliau yang indah
lagi terpuji dan mengagumkan banyak orang, sehingga mereka banyak mengambil
pelajaran dan hikmah dari beliau.
Beliau merupakan
dzurriyat atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, dengan urut-urutan sebagai berikut, Syekh Abil Hasan Ali asy-Syadzily adalah putra dari :
1. Abdullah, bin
عبد الله بن
2. Abdul Jabbar,
bin عبد الجبار بن
3. Tamim, bin تميم بن
4. Harmuz, bin هرمز بن
5. Hatim, bin حاتم بن
6. Qushoy, bin قصى بن
7. Yusuf, bin يوسف بن
8. Yusya’, bin يوشع بن
9. Wardi, bin ورد بن
10. Abu
Baththal, bin أبي بطال بن
11. Ali, bin على بن
12. Ahmad, bin أحمد بن
13. Muhammad,
bin محمّد بن
14. ‘Isa, bin عيسى بن
15. Idris al
Mutsanna, bin إدريس بن
16. Umar, bin عمر بن
17. Idris, bin إدريس بن
18. Abdullah,
bin عبدالله بن
19. Hasan al
Mutsanna, bin الحسن المثنى بن
20. Sayyidina
Hasan, bin سيّد شباب أهل الجنة أبي على محمّد الحسن
21. Sayyidina
Ali bin Abu Thalib wa Sayyidatina Fathimah az Zahro’ binti
22. Sayyidina wa
habibina wa syafi’ina Muhammadin, rosulillaahi shollolloohu ‘alaihi wa aalihi
sallam.
Sejak kecil
Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai orang yang
memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih,
halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di
samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang
yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau
mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya
langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau.
Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada
akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara)
yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai
cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat
kemuliaan di sisi Allah SWT.
Beliau sampai di
kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah,
pada tahun 599 H/1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh
Nabiyyullah Khidlir ‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada
saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau
yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan
sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur
dan akhlaq mulia.
Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau segera menghadap
Syekh Abi Said al Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada
waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami
sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi
Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya
menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas
dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya
dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada
hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa
tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau
banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid,
beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru,
Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke
Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut
ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih,
tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan hadist, semuanya itu
Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau
berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thariqah) itu sekaligus
pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan
untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka
dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus
memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi
merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Perantauan Mencari Sang Quthub
Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam
dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh
penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah
berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang
yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan
dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu
kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota
Mekkah.
Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini
tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh
yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan
tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.
Memang
sepeninggal Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghautsish Shomadani
Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh,
kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah
disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh
Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 – 561 H./1077 – 1166
M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya
Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di
kala hidupnya, Syekh Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin
sebagai seorang yang berkedudukan “Quthbul Ghauts”.
Akhirnya, Beliau
mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah
thariqah Rifa’iyah yaitu syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu
‘anh. Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar
di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan
mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau
minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani
Beliau menuju ke hadirat Allah SWT.
Mendengar penuturan beliau, syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan,
“Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang
yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah
seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke
Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini.
Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di
puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!”
Berguru Kepada Sang Quthub
Beberapa saat
setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera
mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan
sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung
menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama
kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap
pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau
temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup
lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul
Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghauts asy
Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu
sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak
sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti
yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau
menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.
Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah
gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya.
Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua.
Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti
di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu
mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk
memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah
seorang yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin,
disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi,
Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran.
Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang
benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu
berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh
rasa tawadhu’ dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari
mata air itu.
Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut
usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh
dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok
yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang
tersebut memiliki derajat keshalehan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati
berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan
berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam,
“Assalamu’alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab
salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh.” Belum
pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa
dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim
bin….” dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai
akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa
sallam. Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum
sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya
Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal
perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.”
Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang
sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar syekh al Quthub al Ghauts
Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang
yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah
kita haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari
ini.” Berkata Syekh Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa
sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan
kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari
ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan
dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke
sini memang sengaja untuk menyambutmu”.
Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama.
Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh
Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula
wejangan dan nasihat-nasihat yang syekh berikan kepada beliau.
Pada suatu hari
dikatakan oleh syekh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua
senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap
engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan
setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir
menodai dan menggelincirkan dirimu.”
Berkata syekh
Ibn Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan
mendapatkms Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama
segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala
sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk
keadaanNya.”
Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah
empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah;
ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.
Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah;
BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan WARO’ menjauhi dosa-dosa
kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.
Syekh juga
pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan
kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan kcridhoan Allah, dan
jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah.
Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau
berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang
bisa menambah keyakinanmu terhadap Allah”.
Syekh Abdus
Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab
Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah
muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki
oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat
keshalehan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan.
Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah
dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at
sebuah thariqah dari syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thariqah tersebut
sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT.
Setelah menerima
ajaran dan baiat thariqah ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin
terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah
yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin
merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan
ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thariqah itu
sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan
sang guru, Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.
Thariqah ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri
Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia
melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali
mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thariqah ini secara luas kepada
masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun
kemudian dianggap sebagai pendiri thariqah ini yang pada akhirnya menisbatkan
nama thariqah ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THARIQAH
SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia,
dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thariqah
ini. Sebuah thariqah yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah
dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.
Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan
murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan
murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan
dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah
saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah
sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di
sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan
menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”
“Setelah itu,”
lanjut syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau
akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu.
Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah
kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menjadikan engkau seorang
Quthub.”
Pada waktu akan
berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada syekh agar memberikan wasiat
untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia,
berwasiatlah untukku.” Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada
Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada
menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan
terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.)
dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka
sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”
Lanjut syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban
yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan
sempurnalah waro’mu.” “Dan berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah
diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari
mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku
dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku
dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah
atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘
Posting Komentar untuk "Manaqib Syekh Imam Abu Hasan Asy-Syadzili"