Pesta Agung, Bagian Cerita Dari Bidadari Bumi
Pesta Agung, Bagian Cerita Dari Bidadari Bumi |
Mendung menyelimuti langit Tarim sepanjang hari ini. Kurasa ia menyelimuti buminya juga. Entahlah... Namun yang pasti, mendung menyelimuti wajah-wajah orang yang kujumpai. Para guru, para pelajar, bahkan para tetamu. Kabar meninggalnya Hubabah Khadijah terdengar seperti kejutan elektrik di hati semua orang yang mendengarnya. Siapakah yang tidak mengenali beliau?
Inat, merupakan kota kecil sekitar 30 km dari Tarim menjadi terkenal karena Syekh Abu Bakar bin Salim, salah satu tokoh ulama dan waliyullah paling terkemuka. Beliau dulu tinggal dan dimakamkan di sana. Maka berziarah ke Inat berarti mengunjungi makam beliau beserta putera-puteranya.
Merupakan satu peraturan yang tidak tertulis bagi kami bahwa ziarah ke sana tidak lengkap rasanya tanpa mengunjungi Hubabah Khadijah, salah seorang dari keturunan beliau. Seorang wanita shalehah yang tinggal sendiri di sebuah rumah usang yang terletak tidak jauh dari makam Syekh Abu Bakar bin Salim.
Baru beberapa hari yang lalu kami mengunjungi beliau. Sebuah kunjungan rutin yang biasa kami lakukan pada akhir Sya’ban, menjelang Ramadlan tiba. Beliau masih segar bugar. Sungguh tidak pernah kami sangka bahwa itu adalah kunjungan terakhir kami. Beliau menyambut kami dengan senang hati, mendoakan dan juga meminta salah seorang daripada kami membacakan nasyid [1] daripada perkataan para ulama salaf. Maka kabar kematian beliau mengejutkan semua orang. Kabar tentang kematian beliau kami dengar dari salah seorang Ustadzah yang berangkat takziah ke sana.
Tetangga Hubabah Khadijah bercerita... katanya mengawali kisah. ”Hubabah Khadijah tinggal seorang diri dan beliau memang sangat berdikari. Dia tidak mau bergantung pada siapa pun. Ketergantungannya pada orang lain hanya untuk menunaikan shalat. Beliau istiqamah[2] mengerjakan shalat berjamaah. Saya datang ke rumahnya pada setiap waktu shalat untuk mengerjakan shalat fardlu bersama beliau.
Tadi malam, tepat malam Jum’at pertama di bulan Ramadlan, setelah shalat Maghrib berjamaah, beliau berkata padaku: ’Kembalilah segera ke mari. Setelah engkau menyiapkan makan malam untuk keluargamu, kita akan melaksanakan shalat Isya dan tarawih lebih awal karena aku akan pergi ke satu tempat.’ Aku hanya mengangguk meski benakku dipenuhi dengan pertanyaan. Setelah puluhan tahun, tidak pernah kulihat beliau keluar rumah. Kemana beliau akan pergi, apalagi pada malam Ramadlan seperti ini?
Beliau kelihatan segar sewaktu keluar dari kamar mandi dan memakai baju hijau kesukaannya. Wanginya tercium semerbak. Hubabah mau ke mana sebenarnya? Pikirku semakin ingin tahu. Beliau segera mengimami shalat Isya dan dilanjutkan dengan shalat sunnah ba’diyah seperti biasanya. Kemudian mengimamiku shalat tarawih dan diikuti dengan shalat witir yang diselesaikan sampai 11 rakaat. Aneh sekali karena biasanya, beliau akan menunda shalat witirnya hingga pada akhir malam menjelang Subuh.
Selepas semua doa malam Ramadlan kami baca, aku tidak mampu lagi untuk menahan diri lalu bertanya: ’Maaf, Hubabah. Kalau boleh saya tahu, kemana sebenarnya Hubabah hendak pergi sampai bersiap-siap sedemikian rupa?’ Beliau tidak menjawab, malah mengisyaratkan padaku untuk diam. Diambilnya mushaf Al-Quran dan dibacanya juz yang terakhir sampai selesai dan khatam. Kemudian beliau memintaku untuk menghampirinya setelah beliau membaringkan dirinya menghadap kiblat. ’Aku mau menghadiri undangan,’ katanya sambil membetulkan letak tudungnya. ’Kemana? Undangan apa? ’Undangan sebuah majelis. YANG MAHA BESAR telah mengundangku,’ jawabnya dengan begitu tenang.
Aku gemetar mendengarnya dan baru memahami kemana kiranya beliau akan pergi. Benakku mulai kacau. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku lalu berkata: ’Jangan tinggalkan aku, Hubabah. Atau ajak aku ikut serta denganmu...’ ’Semua ada waktunya dan waktumu belum tiba lagi. Sampaikan pesanku kepada semua orang yang mengenalku; aku telah memaafkan mereka yang pernah berbuat salah padaku apa pun bentuknya dan sampaikan salam dan permohonan maafku kepada mereka semua.’ Beliau terdiam sejenak dan kemudian berkata: ’Sekarang aku segera berangkat menghadiri undangan-NYA.’
Beliau kembali merapikan keadaan pakaian dan penutup kepalanya, kemudian berucap dengan mantap: ”Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah.” Matanya menatap lurus ke atas, lalu perlahan menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan diiringi senyuman indah. Senyum keberhasilan. Senyum kemenangan atas perjuangan hidup pada akhir zaman ini yang semakin sukar menghindar dari fitnahnya."
”Demikian cerita tetangga dan orang terdekat Hubabah Khadijah.” Ujar Ustadzah mengakhiri kisahnya.
Sungguh, sebuah kematian yang indah dan luar biasa. Andai boleh meniru, kematian seperti inilah yang akan kutiru. Kalau boleh membuat perjanjian dengan malaikat pencabut nyawa, maka jenis kematian yang seperti inilah yang aku inginkan. Andai... Tetapi... Sebagaimana engkau menjalani kehidupan, seperti itu pula engkau akan dimatikan.
Ungkapan ini kurasa memang tepat menggambarkan tentang beliau. Kematian bagi Hubabah Khadijah laksana sebuah pesta, sebuah undangan dari YANG DICINTA. Cinta beliau kepada ALLAH SWT tidak diragukan lagi. Beliau adalah satu dari sedikit orang pada zaman sekarang yang memiliki cinta kepada ALLAH SWT melebihi cintanya kepada apa pun di dunia ini.
Salah seorang Ustadzah pernah bercerita bahwa suatu ketika, dia mengunjungi Hubabah Khadijah. Saat itu dia sedang mengalami sakit tekak yang agak parah. Merasa pedih ketika menelan makanan, bahkan untuk bicara juga cukup sukar. Dia pegang tangan Hubabah dan diletakkan di tekaknya, seraya meminta kepada Hubabah agar mendoakan kesembuhannya. Hubabah mengusap-usapkan tangannya di tekak Ustadzah sambil berdoa. Namun kemudian Hubabah berkata: ”Wahai Anakku, bukankah sakit adalah dari-NYA juga? Dan RASULULLAH SAW pernah bersabda bahwa tatkala ALLAH SWT mencintai seorang hamba, DIA sering memberi hamba itu rasa sakit sebagai tanda cinta. Kamu tahu nak, ketika dalam waktu lama aku tidak diberinya rasa sakit atau ujian apapun, aku berkata pada-NYA: ’Ya ALLAH, murkakah ENGKAU kepada hamba-MU, Khadijah? Hingga tidak KAU karuniakan padanya sesuatu untuk meninggikan derajatnya?’ ”Anakku, yang ALLAH SWT inginkan untukmu adalah kebaikan. Maka terimalah apapun dari-NYA dengan lapang dada seraya yakin bahwa yang DIA berikan adalah yang terbaik untukmu.” Demikian bijak kata katanya dalam memberi nasihat.
Aduh indahnya... Andai aku diberi karunia hati seperti hatinya. Hati yang mengenal ALLAH SWT. Hati yang mengerti tujuan hidup yang sesungguhnya. Hati yang pandai. Pandai menjalin hubungan dengan ALLAH SWT Penciptanya.
[1] Bait-bait qasidah
[2] Berkesinambungan dalam mengerjakan sesuatu
Oleh Ustadzah Syarifah Halimah Al-Aydrus
Baca Juga: Hari-Hari Bersama Hubabah Bahiyyah
Posting Komentar untuk "Pesta Agung, Bagian Cerita Dari Bidadari Bumi"