Akibat Bagi Orang Yang Beradab Dan Tidak Beradab Kepada Wali Allah
Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam kitabnya, Fatâwâ Hadîtsiyah bahwa
seorang rekan Syekh Abdul Qadir bernama Ibnu Abi Asrun menceritakan:
“Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibnu Saqa,
seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang
saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang 'alim besar bernama Syekh Yusuf
Al-Hamdani yang dikenal dengan sebutan Al-Ghauts. Dia boleh muncul dan
menghilang bila saja sesuka hatinya. Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya
bersama Ibnu Saqa dan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, yang pada waktu itu masih
muda."
Ibnu Saqa berkata, “Apabila bertemu dengan Syekh Yusuf Al-Hamdani, aku akan
menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan dia ketahui.”
Aku pula berkata “Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin
tahu apa yang akan dia katakan.”
Sementara Syekh Abdul Qadir Al-Jilani berkata, “Ya Allah, lindungilah aku
dari menanyakan suatu pertanyaan yang berbentuk menguji kepada seorang suci
seperti Syekh Yusuf Al-Hamdani. Aku akan menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan
ilmu ketuhanannya.”
Maka, kami pun memasuki majlisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami
dan kami tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, beliau memandang
kepada Ibnu Al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu
namanya sebelumnya, “Wahai Ibnu Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan
pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan
jawabannya adalah ini!” dan ia melanjutkan, “Aku melihat api kekufuran menyala
di hatimu.”
Kemudian dia melihat kepadaku dan berkata, “Wahai hamba Allah, apakah kamu
menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawapanku? Pertanyaanmu itu
adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih kerana
tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.”
Kemudian ia memandang kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, mendudukkannya
bersebelahan dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Dia berkata, “Wahai
Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu
yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di
kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan
mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali.
Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih
tinggi keran keagungan kedudukan rohanimu dan kehormatanmu.”
Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua
ucapan Syekh Al-Hamdani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya
ketika ia mengatakan, ‘Kedua kakiku berada di atas leher semua wali.’ Syekh
Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada
setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.
Berbeda keadaannya dengan Ibnu Saqa. Dia menjadi ahli hukum yang
terkenal. Dia mengungguli semua ulama pada masanya. Dia sangat suka berdebat
dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke
lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibnu Saqa kepada Raja Byzantium
(Rom), yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk
berdebat dengannya.
Ibnu Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi
jawapan di hadapannya. Dia mengungkapkan berbagai huJjah yang membuat mereka
seperti anak-anak sekolahan.
Kepandaiannya mempesona Raja Byzantium, yang kemudian mengundangnya ke
dalam pertemuan pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja.
Dia jatuh cinta kepadanya, dan melamar sang putri untuk dinikahinya. Putri
menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibnu Saqa harus menerima agamanya.
Dia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri,
yaitu Nasrani. Setelah menikah, dia menderita sakit parah sehingga mereka
melemparkannya ke luar istana.
Jadilah ia pengemis di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski
tak seorang pun memberinya. Kegelapan menutupi mukanya.
Suatu hari dia melihat seseorang yang dia kenal. Orang yang bertemu dengan
Ibnu Saqa itu menceritakan bahwa dia bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi
kepadamu?” Ibnu Saqa menjawab, “Aku terperosok ke dalam godaan.” Orang itu
bertanya lagi, “Adakah yang kau ingat dari Al Quran Suci?” Ia menjawab, “Aku
ingat ayat yang berbunyi, ‘Sering kali orang-orang kafir itu menginginkan
sekiranya saja dulu mereka itu menjadi orang Islam’
(Q.S. Al-Hijr [15]: 2).”
Dia gementar seakan-akan sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan
wajahnya ke arah kiblat, tetapi dia terus saja menghadap ke arah lain. Sekali
lagi aku berusaha mengarahkannya ke Ka'bah, tetapi ia kembali menghadap ke
timur. Hingga tiga kali aku berusaha, namun ia tetap menghadapkan wajahnya ke
timur. Kemudian, bersamaan dengan itu keluarnya ruh dari jasadnya, dia berkata,
“Ya Allah, inilah akibat ketidakhormatanku kepada wali-Mu, Yusuf Al-Hamdani.”
Ibnu Abi Asrun melanjutkan, “Sementara aku sendiri mengalami kehidupan yang berbeda.
Aku datang ke Damaskus dan raja di sana, Nuruddin Al-Syahid, memintaku untuk
mengurusi bidang agama, dan aku menerima tugas itu. Sebagai hasilnya, dunia
datang dari setiap penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, wang, dan kedudukan
selama sisa hidupku. Itulah apa yang diramalkan oleh Al-Ghaus Yusuf Al-Hamdani
RH untukku.”
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, setelah menguasai seluruh ilmu-ilmu Islam dari
Tafsir, Imu Hadits, Fiqh, Tauhid dan lain-lainnya sehingga mencapai kedudukan
Mujtahid dan boleh memberi fatwa dalam keempat mazhab, beliau teruskan
perjalanan dan perjuangan di dalam jalan ma’rifat ketuhanan.
Posting Komentar untuk "Akibat Bagi Orang Yang Beradab Dan Tidak Beradab Kepada Wali Allah"