Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubabah Tiflah, Ajarkan Aku Berdoa Sepertimu ...!

Hubabah Tiflah, Ajarkan Aku Berdoa Sepertimu

Hari Raya Idul Fitri pertamaku di perantauan tanpa makanan ketupat, tanpa opor[1], tanpa sambal goreng kesukaan dan tanpa kue-kue kering makanan khas hari raya. Juga tanpa kedua orang tua, tanpa saudara dan tanpa rekan-rekan sepermainan. Tanpa siapapun yang sebelumnya ku kenal kecuali abangku yang memang merantau bersamaku ke negeri orang.

Dengan baju baru yang dibelikan oleh abang semalam, aku berjalan keluar rumah sendirian. Abang sudah keluar lebih dulu karena ada acara uwadh seperti jamuan rumah terbuka, majelis silaturrahim antara sesama ulama dan masyarakat.”Khusus untuk lelaki” jawabnya, ketika ku katakan niatku untuk ikut bersamanya. Maka, aku pun berjalan sendirian. Takbir Idul Fitri sudah tidak lagi kedengaran karena selesai shalat hari raya pagi tadi, masjid-masjid sudah berhenti mengumandangkan takbir.

Dari kejauhan, kelihatan deretan pohon kurma yang tidak berbuah. Sekarang musim dingin. Pohon-pohon kurma baru hanya akan berbuah pada musim panas. Kabarnya angin panas padang pasir yang biasa disebut Samum [2],itulah yang membuatkan buah kurma masak. Itulah salah satu sebab yang menyebabkan pohon kurma tidak berbuah di negeri Indonesia. Angin di sana tidak panas, malah sejuk menerpa wajah. Jalan-jalan terlihat lengang. Hanya sesekali saja kulihat mobil-mobil pribadi yang mungkin membawa penumpangnya saling berkunjung pada hari raya seperti ini.

Pintu rumah Ustadzah Zainab Al-Khatib kuketuk. Seorang ustadzah dari Taiz, sebuah kota pertanian di daerah Yaman Selatan yang kini menetap di Tarim [3] dan mengajar di Darul Az-Zahra [4], ma’had [5] tempat aku belajar. Suaminya seorang Ustadz dan merupakan pengurus Darul Musthafa [6], yayasan yang menaungi Darul Az-Zahra. Kebetulan kemarin ketika bertemu dengan beliau di masjid, sewaktu sama-sama shalat tarawih terakhir, beliau mengajakku - mungkin karena kasihan terhadap pelajar baru sepertiku yang berhari raya sendirian di negeri orang untuk berziarah ke beberapa orang yang dihormati di negeri ini.

Muhammad, anak lelaki ustadzah senyum ketika membukakan pintu untuk menyambutku.”Kamu Halimah dari Indonesia?” tanya Muhammad dengan dialek arab yang fasih. Usianya ku kira sekitar 7 tahun. Aku mengangguk mengiyakan. Setelah mempersilakan aku masuk dan duduk di ruang tamu, dia pun segera berlari ke dalam memberitahukan kepada ibunya tentang kedatanganku. Aku duduk di sebuah ruangan tanpa kursi khas negeri arab yang ada hanya bantal-bantal tebal yang tersusun sebagai tempat untuk bersandar

Tidak lama kemudian, Ustadzah Zainab menemuiku dengan baki yang penuh berisi makanan. Ada berbagai-bagai jenis halwa [7], kacang gela [8] dan secangkir kecil teh dengan daun pudina, minuman khas daerah ini. Kami berbicara sebentar. Ustadzah Zainab menanyakan keadaanku dan aku menjawabnya dengan bahasa arab ala kadarnya karena aku baru tinggal di negeri ini lebih kurang sebulan saja. Ustadzah Zainab menerangkan padaku keadaan orang yang akan kami kunjungi pada hari itu. ”Kami biasa memanggilnya Hubabah Tiflah”., katanya. Beliau seorang perempuan tua, ahli ibadah yang lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, orang-orang biasa memanggilnya dengan nama itu (dalam bahasa arab artinya bayi), mungkin karena sampai pada usia tua begitu, beliau masih tetap seperti bayi, tidak pernah menyakiti siapapun.

Rumah itu sangat sederhana, bahkan boleh dikatakan miskin papa. Tidak ada permaidani tebal atau sandaran-sandaran empuk seperti layaknya rumah-rumah orang lain seperti kebiasaannya. Yang ada hanya karpet tipis yang mulai lapuk menutupi tanah yang tidak bersemen di bawahnya. Dindingnya hanya separuh yang dicat. Selebihnya berwarna coklat asli tanah yang dibiarkan begitu saja. Ada tumpukan bantal dan selimut usang di sudut ruang. Aku merasa bahwa di ruangan itulah mereka biasa tidur pada malam hari. Keadaan itu sungguh menarik perhatian. Sangat tidak sesuai dengan raut wajah mereka yang menyambut kami ketika masuk ke rumah tadi. Senyum mereka begitu ikhlas, bahagia seakan tanpa beban, tawa ceria anak-anak kecil tetap terdengar, sambutan berupa pelukan dan disusuli ucapan ahlan wa sahlan [9] terdengar berulang-ulang seolah kami adalah kerabat dekat yang selalu dinanti kedatangannya. Sungguh, aku baru benar-benar menyadari betapa kebahagiaan tidak selalu diukur dengan material.

Sekilas terdengar Ustadzah Zainab memperkenalkan aku kepada keluarga itu sebelum akhirnya menarik tanganku menemui seorang wanita tua yang duduk bersandar di sudut ruangan. Wanita itu segera tersenyum setelah menyadari keberadaan kami. Aku berpikir, ini pasti Hubabah Tiflah yang diceritakan Ustadzah Zainab di rumahnya tadi. Usianya kukira lebih kurang tujuh puluhan. Kulitnya sawo matang keriput.

Dan Ya Allah, ternyata beliau buta. Sebab itu beliau tidak ikut berdiri bersama yang lain ketika mereka menyambut kedatangan kami. Aku perhatikan raut wajahnya. Dia tidak cantik, namun pada wajahnya terlihat seolah tidak pernah ada beban atau masalah apapun dalam hidupnya. Aku hanya diam di hadapannya, tidak tahu harus berbuat apa. Hingga tatkala ku lihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, aku pun mengikuti di belakangnya. Sambil ku pegang tangannya, aku memperkenalkan diri. ”Halimah dari Indonesia” kataku dengan lahjah [10] yang sangat kentara bukan orang arab tentunya. Dia membalas pegangan erat tanganku lama sekali hingga dapat kurasa hangat tangannya menjalari tanganku. Lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua tangannya. Mungkin untuk mempermudah dirinya membayangkan rupa. Lalu dia mendoakanku, terus mendoakan dan tidak henti-henti mendoakan. Seolah-olah saat itu, tidak ada yang lebih penting baginya kecuali aku. Aku perempuan asing yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Ia masih terus berdoa dengan satu kalimat sederhana. Ya, ia hanya berdoa dengan satu kalimat itu saja. Kalimat yang tidak akan pernah aku lupa. Apalagi doa tersebut, kemudian diiringi dengan linangan air mata. Keadaan itu membuat aku terpana, lemas tidak mampu berbuat apa meski sekadar untuk mengangkat tanganku sendiri untuk mengaminkan doanya.

Ya Allah... Maafkanlah aku yang tidak mengerti bagaimana berdoa pada-Mu. Maafkan aku yang jika untuk keselamatan diriku sendiri harus ada orang lain yang memohonkan dengan linangan air matanya. Sesuatu yang bahkan tidak pernah ku ingat untuk melakukannya. Dan terima kasih, ya Allah. Kau perkenalkan aku pada wanita ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku.Terima kasih untuk air mata kesungguhannya yang mungkin tidak ku peroleh dari pada orang-orang yang mengaku mencintaiku sekalipun. Terima kasih lagi karena Kau membawaku ke rumah ini. Rumah yang aku yakini di mata malaikat-malaikat-Mu, ia lebih indah daripada rumah bermarmer mewah tetapi penghuninya tidak pandai mensyukuri nikmat-Mu. Terima kasih ya Allah untuk sebuah pelajaran berharga ini.

Doamu untuk sesama insan adalah hadiah terindah yang dapat kau berikan padanya”. Tarim, Idul Fitri, 1999

Keterangan:
[1]. Masakan (ayam atau itik panggang dengan rempah-rempah).
[2]. Nama angin yang mengeluarkan hawa panas.
[3]. Sebuah kota di daerah Hadhramaut, Yaman.
[4]. Nama sebuah institusi pendidikan agama seperti sekolah agama untuk perempuan.
[5]. Seperti sekolah agama di Indonesia.
[6]. Nama lembaga pendidikan agama yang didirikan oleh Ad-Da’i ila Allah Al-Habib Umar bin Hafidh.
[7]. Kue manis biasanya terbuat dari wijen.
[8]. Sejenis kuaci.
[9]. Ungkapan selamat datang dalam bahasa arab.
[10]. Dialek.

Dikutip dari buku BIDADARI BUMI Oleh Ustadzah Syarifah Halimah Al-Aydrus

Baca Juga: Kisah ERIKA, Wanita Dari Negara Amerika

Posting Komentar untuk "Hubabah Tiflah, Ajarkan Aku Berdoa Sepertimu ...!"