Kenapa Harus Mengaji Kitab Kuning?
KENAPA HARUS MENGAJI KITAB KUNING? KENAPA TIDAK LANGSUNG QUR'AN DAN HADITS AJA? (Kenapa Harus Bermadzhab dan Taqlid Kepada Ulama?)
Sebenarnya judul yang lebih tepat seharusnya ''Kenapa Harus Bermadzhab dan Taqlid Kepada Ulama?'' karena yang dimaksud dengan menggunakan
kitab kuning ialah ikut salah satu Madzhab dalam arti taqlid kepada Ulama. mari kita ulas kenapa kita harus Taqlid dan bermadzhab.
Fenomena penolakan sebagian kalangan terhadap konsep Taqlid untuk kaum
awam menimbulkan polemik bagi umat Islam, terutama bagi orang seperti
kita yang tiada memiliki kemampuan untuk memahami agama secara langsung dari
sumbernya yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah(Hadits).
Di samping itu
keengganan untuk bermadzhab (baca; Taqlid) telah serta merta
membangkitkan semangat sebagian umat islam untuk beristinbath (menggali
hukum langsung dari sumbernya, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah) tanpa
disertai sarana yang memadai. Dan akibatnya dapat kita rasakan, betapa
spirit agama yang semestinya adalah “Rahmatan Lil ‘Alamiin” berubah
menjadi “Fitnah Perpecahan” diantara sesama umat islam.
Oleh
karenanya sebelum kita melepaskan diri dari mata rantai bermadzhab
(Taqlid) sebaiknya kita bercermin diri setidaknya tentang beberapa hal:
Pertama: ADAKAH KITA TELAH MEMAHAMI BAHASA ARAB DENGAN BENAR ?
Memahami bahasa arab dengan benar adalah sarana pertama yang mesti kita pahami, mengingat dua sumber utama dalam islam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah yang notabene menggunakan bahasa Arab dengan mutu yang sangat
tinggi. Ilmu yang harus kita kuasai dalam bidang ini setidaknya meliputi
Gramatika Arab (Nahwu-Sharraf), Sastra Arab /Balaghah (Badi’, Ma’ani,
Bayan), Logika Bahasa (Manthiq) Sejarah Bahasa, Mufradat, dst... Hal ini
penting guna meminimalisir kesalahan dalam mengidentifikasi makna yang
dikehendaki syari’at dari sumbernya secara Harfiyah (Tekstual), juga
untuk mengidentifikasi nash-nash yang bersifat ‘Amm, Khash, berlaku
Hakiki, Majazi dst...
Adalah hal yang naif jika kita berani
mengatakan “Halal-Haram, Sah-Bathil, Shahih-‘Alil” hanya berdasar
pemahaman dari terjemah Al-Qur'an atau As-Sunnah. Sebagai ilustrasi
sederhana berikut kami kutipkan peran pemahaman bahasa arab yang baik dan
benar dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah:
Contoh Fungsi Gramatika Arab
Firman Allah yang menjelaskan tata cara berwudlu :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak melaksanakan shalat,
maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu
dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)
Coba
anda perhatikan kalimat وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dalam
firman Allah di atas, dimana kata tersebut dibaca Nashab (dibaca Fathah pada
huruf lam) padahal kata tersebut lebih dekat dengan kata بِرُءُوسِكُمْ
(kepala kalian)yang dibaca Jar (dibaca kasrah pada huruf Ro’) dengan
konsekwensi makna sebagai berikut :
a. Jika kata وَاَرْجُلِكُمْ
(dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasrah) maka yang harus dilakukan
untuk kaki ketika berwudlu adalah Mengusap bukan Membasuh, hal ini
disebabkan kata وَاَرْجُلِكُمْ disambung dengan kata بِرُءُوسِكُمْ yang
berarti amil (kata kerjanya) adalah وَامْسَحُوا (dan Usaplah)
b.
Jika kata وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasrah)
maka yang harus dilakukan untuk kaki ketika berwudlu adalah Membasuh
bukan Mengusap, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلَكُمْ disambung dengan
kata وُجُوهَكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) adalah فَاغْسِلُوا
(Basuhlah)
Coba anda perhatikan: betapa dengan sedikit perbedaan,
berimplikasi makna dan kewajiban yang berbeda. Dimana ketika kata
وَاَرْجُلَكُمْ dibaca fathah/Nashab maka kewajibannya adalah Membasuh,
sedang jika kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca Kasrah/Jarr, maka kewajibannya
adalah Mengusap. Adakah hal ini kita dapati dari Al-Qur'an terjemah
?
Contoh Fungsi Balaghah/Sastra Arab
Masih dalam tema
ayat di atas, coba anda perhatikan kata إِذَا قُمْتُمْ dengan menggunakan
Fiil Madhi (kata kerja masa lampau) yang jika dialih bahasakan secara
harfiyah memberi makna : “Apabila kalian telah berdiri /menjalankan”...
sedang yang dimaksud adalah sebelum shalat. Inilah yang dalam pelajaran
sastra arab disebut dengan “Ithlaqul Madhii Wa Uridal Mustaqbal”
Contoh Fungsi Manthiq
Diantara fungsi “Manthiq”/Logika Bahasa dalam konteks ayat di atas
adalah guna men-Tashawwur-kan (menjelaskan dengan makna yang Jami’ dan
Mani’) dari masing-masing kata dalam ayat di atas, misal yang dimaksud
dengan “Yad” (tangan) adakah ia adalah “Tangan” dalam bahasa kita?
“Wajah” seberapakah daerah yang masuk kategori “Wajah”? dan “Ru’us”
(kepala), Membasuh, Mengusap, dst.... adakah semuanya dapat kita
definisikan dengan kamus bahasa indonesia? Sedangkan Al-Qur'an menggunakan
bahasa arab dengan mutu paling tinggi ?
Kedua: SUDAHKAH ANDA MENGHAFAL AL-QUR’AN (Seluruhnya) DAN JUGA SEKURANG-KURANGNYA SERATUS RIBU HADITS ?
Syarat kedua di atas sangatlah diperlukan karena dengan terpenuhunya
syarat tersebut akan tergambar semua ayat dan hadits terkait jika anda
hendak memutuskan suatu perkara, dengan demikian keputusan/pendapat anda
akan terhindar dari bertabrakan dengan nash-nash yang lain.
Sebagai ilustrasi sederhana kita gunakan ayat ayat di atas dengan
terjemah sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak
melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku,
dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Jika kita memahami hanya dari ayat tersebut, maka
akan kita dapati hukum wajibnya berwudlu adalah bagi setiap orang yang
hendak melaksanakan shalat, baik ia orang yang masih dalam keadaan suci
maupun berhadats. mengingat keumuman perintah pada ayat di atas yang
ditujukan pada setiap orang yang hendak melaksanakan shalat.
Syarat kedua tersebut, juga berguna untuk menghindarkan anda menempatkan
dalil bukan pada tempatnya, misalnya menempatkan ayat-ayat yang sejatinya
untuk orang-orang kafir namun anda hantamkan untuk orang-orang islam.
Bukankah Abdullah Ibn Umar –radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, ketika
beliau ditanya tentang tanda-tanda kaum Khawarij ?
وَكَانَ ابْنُ
عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا
إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Dan adalah Ibnu Umar, ia memandang mereka (Khawarij) sebagai
seburuk-buruk makhluk Allah, dan ia berkata : “Mereka (Khawarij) berkata
tentang ayat-ayat yang (sejatinya) turun terhadap orang-orang kafir,
mereka timpahkan ayat tersebut untuk orang-orang beriman”. (HR. Al
Bukhari, Bab Qatlil Khawaarij)
Ketiga: SUDAHKAH ANDA MENGUASAI ILMU-ILMU PENDUKUNG YANG LAIN GUNA MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH?
Perangkat lain yang mesti anda kuasai dalam menggali hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memang luas dan dalamnya melebihi luas dan
dalamnya samudera, diantaranya adalah;
- anda harus mengetahui “Asbaabun Nuzul” dari setiap ayat dan juga “Asbaabul Wuruud” dari setiap hadits, hal ini penting agar anda mampu menempatkan dalil-dalil sesuai porsinya dan mampu membedakan dalil-dalil yang “Nasikh” (Pengganti/penyalin) dari dalil-dalil yang “Mansukh” (diganti/disalin)
- anda harus mengetahui “Asbaabun Nuzul” dari setiap ayat dan juga “Asbaabul Wuruud” dari setiap hadits, hal ini penting agar anda mampu menempatkan dalil-dalil sesuai porsinya dan mampu membedakan dalil-dalil yang “Nasikh” (Pengganti/penyalin) dari dalil-dalil yang “Mansukh” (diganti/disalin)
- anda juga harus menguasai sekurang-kurangnya “Qira’ah Sab’ah” dalam
ilmu qur’an, mengingat akan Naif rasanya seorang “Calon Mujtahid”
melafadzkan Al-Qur'an tidak dengan pengucapan yang fashih.
Disamping
itu anda juga harus menguasai ilmu-ilmu pendukung guna memahami As-Sunnah, seperti Mushtholah Hadits, Jarh Wat Ta’dil, Taroojim, dst... hai
ini penting setidaknya agar anda tidak berhukum dengan hadits yang
lemah dengan menabrak hadits yang shahih.
Keempat: SUDAHKAH ANDA MENGUASAI KAIDAH BER-ISTINBATH DARI PARA IMAM MUJTAHID ?
Syarat keempat di atas juga sangat penting setidaknya guna mengetahui cara menyikapi nash-nash yang Mujmal, Mubayyan, ‘Amm, Khash, dan cara men-Jami’-kan (mencari titik temu) jika terdapat nash-nash yang dhahirnya Mukhalafah (berselisih) atau Ta’aarudh (bertentangan).
Sebagai ilustrasi sederhana kami kutipkan Firman Allah berikut :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى
وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shabiin, siapa saja (diantara
mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan
kebaikan, mereka mendapat pahala dari tuhannya, tidak ada rasa takut
pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 62)
Sepintas ayat di atas memberi pemahaman adanya peluang yang sama bagi
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shabiin,
untuk mendapat pahala di sisi Allah atas kebaikan yang mereka perbuat.
Sehingga seakan-akan ayat tersebut menyatakan bahwa orang-orang yang beriman,
orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shabiin, bisa masuk surga. Adakah
kenyataannya memang demikian? sedang dalam ayat lain Allah berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima,
dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)
Perhatikan dua ayat di atas!!! adakah pengetahuan yang memadahi pada
diri anda untuk men-Jami’-kan dua nash yang dzahirnya Mukhalafah (tidak
sejalan) tersebut ?.... sungguh apa yang kami sampaikan di atas hanyalah
sebagian kecil perangkat yang harus anda kuasai untuk Ber-Istinbath
(menggali hukum langsung dari sumbernya)
Saudaraku... kami
sampaikan hal-hal di atas bukan dalam rangka mematahkan semangat belajar
anda, akan tetapi ketika anda mencoba menggali hukum dari sumbernya
langsung tanpa perangkat yang memadai, maka yakinlah Kelancangan Anda
Hanya Akan Berakibat Perpecahan Umat Islam.
LIKULLI SYAIIN
AHLUN, IDZA WUSIDAL AMRU LIGHAIRI AHLIHI.. FANTADZHIRIS SAA’AH : “Setiap
segala sesuatu ada ahlinya, Jika suatu perkara diembankan (diserahkan)
pada yang bukan ahlinya, maka nantikanlah saat kehancurannya”.
Sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini banyak kehancuran, musibah, dan saling menjatuhkan pendapat di dunia maya (media sosial) dikarenakan banyak orang berfatwa menyesatkan yang sebenarnya disebabkan ia langsung menggali hukum dari al-Qur'an dan Hadits tanpa melalui prosedur ijtihad dan tanpa mempelajari kitab Kuning
Sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini banyak kehancuran, musibah, dan saling menjatuhkan pendapat di dunia maya (media sosial) dikarenakan banyak orang berfatwa menyesatkan yang sebenarnya disebabkan ia langsung menggali hukum dari al-Qur'an dan Hadits tanpa melalui prosedur ijtihad dan tanpa mempelajari kitab Kuning
Wallahu A’lam bishshawaab...
Dikutip dari Ngaji.web.id
Dikutip dari Ngaji.web.id
Posting Komentar untuk "Kenapa Harus Mengaji Kitab Kuning?"